Keberadan Manusia Dan Perjuanganya - Peke tanah

Terbaru

Menulis Untuk Kenikmatan

Saturday 20 July 2019

Keberadan Manusia Dan Perjuanganya

Keberadan Manusia Dan Perjuanganya
   ***Opini Oleh : Bayu Kornelis ***
Mahasiswa Bahasa dan Sastra dan  Kader Muda PMKRI Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius, Angkatan PEMBAHARUAN 55.

                   
Bayu Kornelis (Foto Istimewa)
Mahasiswa Bahasa dan Sastra   dan  Kader Muda PMKRI Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius, Angkatan PEMBAHARUAN 55.


Keberadaan dan perjuangan hidup sudah menjadi acuan kita dalam menempu kehidupan. Sejak dalam rahim seorang Ibu kita sudah berada dalam sebuah titik perjuangan. Kurang lebih sembilan bulan lamanya kita berada dalam janin Ibu dan terus bernafas dalam kegelapan, apakah itu perjuangan? "Ia", tuturku. Didalam keberadaan dan perjuangan kita sendiri, keterlibatan orang lain juga sangat penting kita hargai,bakan kita kenang dan patut kita abadikan. Apakah langka awal yang kita lakukan jika kita ingin berkembang dalam keberadaan dan perjuangan? Jawabannya "Gnothi Seauton" kenalilah dirimu sendiri. 

Apakah yang kita rai dalam kehidupan yang fana ini,.Kebahagiaan, kesuksesan, ketentraman kesatagnanan atau malah mati suri (mati dalam kehidupan). Semua pertanyaan bisa kita capai dalam kesempatan tertentu jika dunia atau alam menghendaki (power of world), tetapi apakah alam mendukung diri kita secara cuma-cuma,. Jelas tidak. Secara Hukum Cinta Kasih yang humanis dimata Tuhan, alam selalu memberikan tempat dan ketenangan bagi orang-orang yang berusaha menjalankan kehidupannya sesuai keberadaan dan perjuangan hidup yang selaras dengan ajaran dan nilai setiap pemeluk kepercayaan.Tuhan dan alam bekerjasama dalam menyiapkan kesempatan untuk mereka yang berusa mencapai sebuah keniscahyaan dalam diri dan luar diri kita, maka jadikanlah keduanya sebagai tempat berpijak dan lahan tempur untuk kita menangkan.

Saya perna membaca sebuah buku yang berjudul Pemikiran Filsuf-filsuf Besar, dan terkutip pemikiran Plato. Ia bertitik tolak dari manusia yang harmonis serta adil dan ia menggunakan pembagian jiwa atas tiga fungsi, yaitu Jiwa Keinginan (epithymia) atau orang-orang yang berjiwa pekerja seperti buruh, petani dan lain-lain. Yang kedua Jiwa Energik (thymos) atau mereka yang memiliki jiwa berani, seperti keamanan (tentara, kepolisian, dan mereka yang beramunisi menjaga negara), dan yang terakhir mereka yang Berjiwa Rasional (logos) sbg kaum Intelektual atau pemimpin-pemimpin negara yang dinamakan puncak/pelingkup. Dari pembagian jiwa menurut Plato, ada tangga sosial dan status yang mengaharuskan jiwa setiap orang harus berada pada titik-titik tertentu sesuai dengan kemampuan dan semangat juang yang dituangkan dalam kehidupan ini. Pengandaian yang diciptakan Plato juga sebagai gambaran bahwa manusia mempunyai keberadaan yang mutlak perlu dan perjuangan seseorang juga patut untuk diketaui dan diakui dalam berjelaja demi kehidupan yang suda disiapkan oleh Tuhan dan juga alam.

Keberadaan dan perjuangan Manusia juga terikat sebagai label bermakna atau atnribut Manusia yang memahami hakikat Manusia itu sendiri, dan saya perna membaca dan mecoba mengambarkan terkait pendekatan tulisan ini dan sedikit di uraikan tentang antribut atau hakikat Manusia dalam buku Vertikalitas Otak yang berhasil dirangkum Oleh Antonius Porat, salah satau Dosen, FKIP UNDANA kupang, lulusan Master Of Arts di bidang Manajemen Informasi di Newcastle University, Inggris .

Dalam bukunya, luasnya dimensi hakikat Manusia yang sangat perlu diketaui. Yang pertama adalah Homo Sapiens. Istilah Homo Sapiens diambil dari bahasa Latin yang terbentuk dari dua buah kata, yakni homo (humus) yang berarti 'Manusia' (yang tubuh nya di ceritakan berasal dari Tanah) dan Sapiens/sapare yang berarti 'bijaksana'. Menurut Chris Stringer dalam The Origin and Evolution Of Homo Sapiens (2016), homo sapiens pada awalnya bukanlah atribut atau julukan, merupakan nama awal spesies Manusia pada Zaman Pleistosen (3 juta-10.000 tahun yang lalu), sesuai fosil yang ditemukan di Afrika pada waktu itu.

Yang kedua yaitu, Homo Socius (makhluk berteman/bersosial) atribut atau julukan Manusia yang berteman itu dikenal dengan sebutan Homo socius atau dalam istilah Seneca, homo homini socius (Manusia adalah teman bagi sesama manusianya). Seperti yang diungkapkan Aristoteles, Ahu Tangel dalam artikelnya "The Ontology of Zoon Politikon" (zoo=binatang, polotikon=bermasyarakat) jadi bisa disepakati bahwa homo socius adalah hewan yang bermasyarakat yang secara kodrat hidup bermasyarakat.

Ketiga, homo religiosus yang merupakan satu julukan yang berbeda dari julukan lainnya. Julukan ini bisa kita gambarkan bahwa dunia tidak hanya yang disini dan saat ini, tetapi juga dunia lain setelah kematian. Dalam hal ini Manusia berelasi secara intens dengan dunia lain untuk melakukan berbagai ritual, khusunya oleh Masyarakat tradisional pada awal atau akhir tahun. Hal yang paling intim yaitu, manusia pada saat itu sudah percaya pada ''sosok" yang melampaui dunia yang disebut sebagai Allah, Tuhan, Dewa, dan sebagainya. Jadi, keberadaan Manusia pada saat silam sudah memiliki kepercayaan dan melakukan perjuangan dengan mengandalkan para sosok-sosok yang dipercayainya.

Ada juga julukan manusia yaitu, Homo Faber atau julukan lainnya yang dikenal dengan istilah Tool Making Anima atau dalam antropologi, homo faber sama dengan Working Man, makhluk berkarya. Dapat demikian hakikat Manusia bisa diketahui melaui karyanya. Hal ini juga yang menyebabkan antara Manusia dengan Manusia lainnya untuk terus berjuang dan menghasilkan sesuatu (karya), dan pada waktu dan ruang tertentu mereka mengambil keputusan dan menciptakan sebuah pertunjuukkan atau perlombaan untuk mengetahui siapa, bagaimana, apa dan kapan mereka menguasai Alam yang sudah diciptakan oleh Tuhan.

Setelah Manusia mampu bekerja dan menciptakan, lalu manusia mengharuskan diri mereka untuk menghasilkan barang dan jasa dan mekanisme pendistribusiannya. Keberdayaan inilah yang membuat Manusia dapat dijuluki sebagai Homo Economicus. Homo Economicus dimana Manusia lampau dapat berelasi secara intens dengan menggunakan segala kemampuan dan menjualbelikan kepemilikan mereka demi menghasilkan sesuatu yang baru. Keberadaan ini pula yang membuat manusia bertahan hidup dan saling memperjuangkan sesama manusianya.

Kemudian ada yang disebut sebagai Homo Narrans. Atribut ini sudah menjadi sebuah kemajuan dalam perkembangan manusia itu sendiri, dimana manusia sudah mampu menciptakan cerita dan menceritakannya. Rangke mengatakan bahwa mengisahkan satu cerita merupakan satu kebutuhan manusia dan sejaligus mengekspresikan hakikat manusia, berbeda dengan P.H. Matthews yang menjelaskan bahwa dari sudut pandang linguistik, berbicara atau bercerita merupakan satu ciri rasional tertinggi pada manusia. Perkembangan manusia pada titik ini, merupakan salah satu alat mereka untuk memjelaskan bagaimana dunia yang mereka alami harus ditransfer melalui ciptaan dalam bentuk cerita (history) dan bertujuan mengabadikan sebuah hasil dan ciptaan lainnya, seperti yang dijelaskan pada atribut sebelumnya yaitu, Homo Faber (makhluk pekerja/pencipta).

Pada bagian ini akan dijelaskan bahwa hakikat manusia memiliki kecendrungan yang destruktif, yakni Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Hakikat ini bisa kita katakan sebagai lawan dari Homo Homini Socius (manusia adalah temannya manusia). Perlawan anatara homo homini socius dan homo homini lupus ini, manusia lebih mengemukakan kehendak mereka untuk memberikan sisi keberpihakan dan kecendrungan melakukan perlawanan sesama manusianya. Sesuai pandangan teori evolusi, secara biologis manusia memiliki gen selfish. Karena secara genetis bersifat selfish, manusia harus bertarung hingga membinasakan yang lain agar tetap hidup (The survival Of the Fittest). Dari sini manusia adalah mangsa bagi sesamanya. Keberadaan manusia dan perjuangannya pada bagian ini sangatlah memberikan pesan bahwa atribut yang satu ini, menggambarkan dimana manusia terus bekerja dan melakukan benturan antara sesama manusianya hingga mereka disebut sebagai serigala bagi .

Ada yang patut kita selami dalam buku ini yaitu Homo Deus. Julukan Homo Religiosus merujuk pada kapasitas berkesadaran akan adanya Allah atau Tuhan sekaligus mampu berelasi dengan-Nya. Homo deus berbeda dengan homo religiosus, yakni dimana hakikat yang satu ini, kesadaran manusia sebagai citra Allah bahkan kesadaran atau tindakan hidupnya sebagai citra Allah di dunia. Homo deus disini juga merujuk pada kemampuan meniru sifat Allah dalam mengasihi atau memelihara untuk menjamin kehidupan.

Jika kita menyerapi secara sungguh-sungguh perkembangan manusia sekaligus titik awal keberadaan dan perjuangan manusia pada tulisan diatas, maka kitapun berada pada penikmat dan pelaku dari urgenitas hakikat manusia,  karena kita telah melebihi kapasitas atau atribut dan hakikat manusia yang telah kita ketahui bersama. Keberadaan kita sekarang secara mutlak telah melebihi ambang batas dengan disuapi zaman yang lebih daripada berkembang. Intensitas kita menemui tantangan dalam kehidupan yang relatif tinggi pada era yang bisa dibilang kejam ini, akan menjadi cambukan kecil sekaligus membunuh keberadaan kita dalam memperjuangkan kehidupan yang penuh dengan kenihilan dan absurdnya kehidupan jika kita tetap terus berjalan ditempat dan tidak mampu membaca kemauan duniawi.

Kecendrungan kita dalam menyikapi keberadaan pada waktu silam dengan keberadaan kita sekarang jelas berbeda. Kekayaan alam yang dulunya masih utuh dengan sedikitnya permintaan penghuni bumi, kini semakin tersedot dan terkuras abis oleh kebutuhan zaman yang terus memperseksi kebutuhan akan bumi. Hal ini pula yang menjadi sebuah titik perjuangan alam itu sendiri beserta komponen-komponen didalamnya, bagaimana mempersiapkan diri untuk hari ini ketika hasil bumi terus diperjuangkan dan diperjualbelikan tanpa harus memikirkan hari depan. Keberadaan manusia terus dipertanyakan seiring dan sejalan perjuangan itu disematkan dalam bait kehidupan. Satu pertanyaan yang sampai saat ini belum kita bisa debatkan, "kapan keberadaan manusia akan mencapai titik akhir dan langkah apakah yang harus diperjuangkan manusia kala bumi dan alam bungkam dan tidak lagi mampu menopang". Tentu tidak semua manusia mengetahui hal semacam ini, jikalau ada mungkin hanya  sebagian yang mampu menjawab pertanyaan sederhana ini.

Saya mencoba mengangkat sebuah kutipan cerita dongeng yang perlu kita refleksikan bersama-sama, "Hidup bukan sekedar menarasikan sebuah dongeng yang berjudul " Raja Tidur " dimana sebuah kerajaan yang di pimpin oleh seorang raja yang menghabiskan hari-harinya hanya dengan tidur . Jika ingin memimpin sebuah takhta pimpinlah diri kita dahulu, jika ingin membina anak buah benahilah diri kita dahulu, jika ingin menjadi cermin berjalan cerminilah diri kita dahulu maka, segala potensi diri kita dengan sendirinya akan menjadi panutan bagi penghuni jagad raya . Tetapi adakah sebagian besar yang membuat kita sadar dan mengikuti cerita dari peran " Si buta dari Gua hantu ", dengan mata yang tertutup dan tinggal di sebuah Gua . Si buta di juluki sebagai pengembara hutan yang tak pernah takut akan bahaya, tak pernah lelah akan perjalanannya dan tak pernah gentar akan lawan yang menghadangnya . Buta akan mata tak menjadi persoalan baginya, gelap akan pandangan tak menjadi soal baginya . Si buta terkenal karena sosoknya yang penyabar akan persoalan yang di hadapinya, terkenal akan kebutaannya yang selalu manumpas kejahatan meski dalam gelap gulita, terkenal akan kebaikan dan kesopanan yang selalu diberikannya . Cerita pendek ini mengisyaratkan bahwa keberadaan dan perjuangan manusia mempunyai dimensi yang cukup berbeda meskipun semuanya akan musnah pada akhirnya. Kebaikan dan keburukkan dalam keberadaan manusia telah berada pada kungkungan Tuhan, begitu pula perjuangan manusia yang mempunyai warna-warni dan lemahkuatnya satu perjalan hidup dalam laboratorium kecil ini.

Hidup terlalu banyak warna, hidup juga terlalu banyak pilihan dan sesungguhnya hidup ini bagaikan air terjun yang rela jatuh dari ketinggian dan rela menghempaskan diri dari bebatuan agar menghidupkan banyak orang, agar meluapi sungai-sungai kecil, agar membasahi tanah kering dan agar menghidupsemangatkan orang-orang yang haus akan air kehidupan . Berbuatlah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta dan Perencana kehidupan, lakukanlah atas panggilan hati dan sudutkanlah amunisimu jika masih berangkat dari iri, benci dan dengki. Lakukanlah dan berlayarlah kesamudera luas. Jangan melihat seberapa besar lebar layar yang kamu kepalkan, jangan mengukur seberapa besar dan kuatnya bahtera yang kamu tumpangi, tetapi lihatlah mata hatimu yang besar dalam menakhluki segala tantangan dan rintangan, maka kamu akan menjadi penakhluk samudera liar dan segala isinya.

Jadi, keberadaan yang melimpah kita berikan kepada yang membutuhkan dan perjuangan yang kita jalani merupakan cerminan bagi banyak orang . Ingat, hidup adalah Rahmat yang dapat dilihat dan dapat dirasakan. Kita akan hidup dalam kekekalan jika kita mampu menabung dan memupuk kebaikan, kita akan hidup secara damai dengan sesama manusia jika kita tidak mengabaikan kedamaian diri dengan Tuhan. Inilah keberadaan yang kekal, abadi dan sesungguhnya, dan inilah puncak perjuangan kita dalam mengarungi kehidupan***

Di Tulis Di Kupang,21 Juli 2019.

Penulis: kesibukan keseharianya Mendistribusikan pemikiran lewat wada Organisasi Yang di Bangun, Namun dirinya tetap Konsisten memberikan kan Diri kepada Masaryakat lewat pemikiran Secara Tertulis Di Media Daring. 

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan jika Anda punya saran, kritik, atau pertanyaan seputar topik pembahasan.
Catatan :
Komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan diperiksa terlebih dahulu sebelum ditampilkan. Hanya komentar yang berkualitas dan relevan dengan topik di atas yang akan ditampilkan. Harap gunakan sebaik-baiknya dan sebijak mungkin form ini. Terima kasih untuk kerja samanya. (jangan lupa centang notifme)